Photobucket Photobucket
SEKILAS INFO : bagi para semeton yang memiliki artikel dan layak untuk diketahui oleh kita semua khususnya tentang kebhujanggaan mohon kiranya dapat di kirim lewat e-mail ke : ngurah7wirawan@yahoo.co.id untuk diposting pada blog ini. suksma.

Senin, 10 Januari 2011

Pura Gunung Raung dari sebuah pohon yang bercahaya

Ini salah satu pura tertua di Bali. Letaknya di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini erat sekali kaitannya dengan perjalanan Rsi Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung, Jawa Timur, ke Bali untuk menyebarkan ajaran Sanatana Dharma (Kebenaran Abadi) yang kini dikenal dengan sebutan Hindu Dharma.

Setelah terlebih dahulu mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, selanjutnya Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.

Di desa Taro, Pura Gunung Raung ini terletak persis di tengah-tengah desa dan menjadi pembatas Banjar Taro Kaja (utara) dan Banjar Taro Kelod (selatan). Ini adalah sesuatu yang unik, sebab pada umumnya letak pura di Desa Kuno di Bali adalah di daerah hulu dan di daerah hilir desa.

Tentang perjalanan Rsi Markandya, menurut lontar Bali Tatwa, mulanya Sang Resi berasrama di Damalung, Jawa Timur. Selanjutnya, beliau mengadakan tirthayatra (perjalanan suci) ke arah timur hingga ke Gunung Hyang (Dieng). Tak ada tempat ideal yang ia temukan sebagai pasraman dalam perjalanan suci tersebut. Resi Markandya pun melanjutkan perjalanannya ke arah timur hingga tiba di Gunung Raung, Jawa Timur. Di tempat inilah beliau membangun asrama dan melakukan pertapaan.

Suatu hari, dalam samadinya, beliau mendapatkan petunjuk agar meneruskan perjalanan ke arah timur lagi, yakni ke Pulau Bali. Petunjuk itu pun dilaksanakannya. Diiringi 8000 pengikut, beliau melanjutkan perjalanan sucinya ke Bali.

Tiba di sebuah tempat yang berhutan lebat di lambung Gunung Agung, Rsi Markandya berkemah dan membuka areal pertanian. Namun, para pengikut beliau terkena wabah penyakit hingga sebagian di antaranya meninggal dunia. Hanya sekitar 4000 pengikut saja yang tersisa.

Melihat keadaan itu, Resi Markandya kembali ke Jawa Timur untuk bersamadi dan memohon petunjuk. Tuhan yang menampakkan dirinya sebagai Sang Hyang Pasupati kemudian hadir dan memberi tahu Sang Rsi bahwa kesalahannya adalah tidak melakukan ritual dan mempersembahkan sesaji untuk mohon izin saat hendak merambah hutan. Mendapat keterangan demikian, Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung (Ukir Raja). Saat itu beliau diring oleh para pengikut yang disebut Wong Age.

Setiba di Gunung Agung, Rsi Markandya mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu yaitu lima jenis logam (emas, perak, besi, perunggu, timah) yang merupakan simbolis dari kekuatan alam semesta. Di tempat pelaksanaan ritual dan pemendaman panca datu tersebut kemudian didirikan pura yang dinamakan Pura Basukian yang menjadi cikap bakal berdirinya kompleks Pura Besakih.

Setelah itu memendam panca datu dan melakukan ritual lainnya, barulah kemudian Sang Rsi memerintahkan pengikutnya untuk membuka lahan pertanian menurun hingga ke Gunung Lebah di Ubud. Sampai di sebuah lahan yang cukup strategis, beliau mengadakan penataan seperti pembagian lahan untuk perumahan dan pertaian untuk para pengikutnya. Desa itu kemudian dinamakan Desa Puakan.

Selanjutnya, Rsi Markadya juga memerintahkan sebagian pengikutnya membuka lahan hingga ke sebuah tempat yang subur yang dinamakan Desa Sarwa Ada. Di sana beliau juga melakukan penataan dan pembagian lahan bagi para pengikutnya. Dan, setelah semua pengikutnya mendapatkan lahan untuk melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya, beliau kemudian membangun sebuah pasraman yang serupa dengan pasramannya di Gunung Raung, Jawa Timur. Entah kenapa, pada saat itu kembali Resi Markandya mendapatkan banyak gangguan dan kesulitan.

Seperti sebelumnya, Rsi Markandya kembali ke Jawa Timur dan mengadakan samadi. Tak ada petunjuk apa pun yang beliau peroleh selain perintah untuk kembali melakukan samadi di pasraman beliau di Bali. Ketika petunjuk itu beliau turuti, Rsi Markandya melihat seberkas sinar cemerlang memancar dari sebuah tempat. Ketika didekatinya, sinar tersebut berasal dari sebatang pohon. Di pokok pohon yang menyala itulah Rsi Markandya mendirikan pura yang sekarang dinamakan Pura Gunung Raung.

Pura dengan pohon yang bersinar tersebut menjadi pusat desa. Karenanya, desa tersebut dinamakan Desa Taro. Taro berasal dari kata ”taru” yang berarti pohon. Sedangkan nama pura dan pasramannya sama dengan nama sebelumnya yakni Gunung Raung.

Sebelumnya, di Desa Taro, hidup sapi putih yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai keturunan Lembu Nandini (Tunggangan Dewa Siwa). Sapi putih itu dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang resi yang menganut paham Waisnawa, namun dengan membiarkan masyarakat tetap mengeramatkan sapi putih itu, menunjukan bahwan beliau menghormati keberadaan paham Siwaisme yang sudah sempat tumbuh dan berkembang di Taro.

Dok. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana
Dari berbagai sumber.

Jumat, 07 Januari 2011

Karya Agung Ring Pura Kawitan Bhujangga Waisnawa,Gunungsari,Jatiluwih.

Point-Point Penting yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan Karya Agung Ring Kawitan Bhujangga Waisnawa.
Setiap pelaksanaan upacara yadnya yang mengambil tingkatan kayangan jagat di tanah bali pasti memiliki tujuan utama yaitu untuk menjaga harmonisasi antara hubungan manusia dengan manusia, harmonisasi hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitar dan harmonisasi hubungan manusia dengan TuhanNYA. Begitu pula karya agung yang akan dilakukan di kawitan Bhujangga Waisnawa Jatiluwih. Untuk mencapai tujuan ini ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan supaya karya agung yang diselenggarakan di kawitan bhujangga ini benar-benar tepat sasaran.

Menjaga Harmonisasi dengan Gunung.
Kawitan bhujangga ini terletak di lereng bagian timur laut gunung batukaru. Mengingat letak ini dikaitkan dengan menjaga harmonisasi dengan alam semesta, maka sebelum persiapan karya dimulai maka sangat perlu sekali untuk matur uning ke Puncak Gunung Batukaru. Hal ini mungkin sudah diperhitungkan oleh pihak panitia karya akan tetapi realisasinya pasti akan dilakukan menjelang puncak karya yaitu nunas pekuluh pemuput ke puncak. Nah disinilah bisa terjadi misinterpretasi. Disini gunung Batukaru bertindak sebagai tuan rumah, bukan sebagai tamu. Karena sebagai tuan rumah maka dari awal kita sudah harus matur uning ke puncak mempermaklumkan akan menyelenggarakan karya besar diwewengkon beliau. Bahkan karena dipuncak kedaton (puncak gunung batukaru) juga merupakan linggih Ida Betara Resi, maka acara naik ke puncak ini disamping matur uning akan melakukan karya juga sekaligus akan mendak beliau sebagai pengrajeg karya dalam kapasitas ida sebagai IDA BHUJANGGA LUWIH (Ida Betara Lingsir Puncak Kedaton). Kemudian pada waktu upacara pekelem maka harus melakukan prosesi pekelem ring puncak gunung Batukaru.

Menjaga harmonisasi dengan danau.
Kawitan bhujangga secara geografis merupakan bagian dari gunung Batukaru. sesuai dengan konsep purusa pradana. Maka Gunung Batukaru sebagai purusa dan Danau Tamblingan sebagai Pradana. Disamping karena dasar sastra pemilihan danau tamblingan ini karena terkait historis perjalanan sang bhujangga sebelum sampai di jatiluwih dimana beliau terlebih dahulu menetap diseputaran danau tamblingan. Hal yang perlu diperhatikan disini yaitu mepekelem ke danau Tamblingan. Disamping itu alasan harus mepekelem ke puncak kedaton dan ke danau tamblingan ini disesuaikan dengan status karya yaitu karya ring kawitan, dimana disini yang diutamakan adalah konsep leluhur (lanang istri, purusa pradana) maka gunung batukaru menjadi simbol bapak dan danau tamblingan menjadi simbol ibu.

Menjaga harmonisasi dengan laut.
Secara geografis kawitan bhujangga waisnawa terletak di Kabupaten Tabanan maka normalnya seharusnya segara yang dipilih sebagai tempat mepekelem pasti pantai di sebelah barat Tanah Lot (maaf penulis tidak tahu pasti namanya). Akan tetapi perlu diingat bahwa Pura Kawitan ini bukan hanya merupakan sungsungan semeton Tabanan melainkan sungsungan semeton bhujangga di seluruh Bali. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan secara lebih luas dan lebih matang dalam pemilihan segara yang akan dipakai terkait dengan karya agung ini. Sebagai pembanding penulis akan menceritakan sedikit tentang pura Batur Kintamani. Pura Batur secara geografis terletak di bali utara, maka secara tidak langsung pantai yang dipilih sebagai tempat melasti ida betara batur dalam kapasitas beliau sebagai betara pengrajeg jagat Bali utara pasti terletak di bali utara yaitu di pantai depan Pura Penegil Dharma. Akan tetapi kalau pura Batur dipandang sebagai pengrajeg jagat Bali maka pantai yang beliau pilih sebagai tempat mebeji agung ternyata terletak di pantai Batubolong Canggu. Sehingga kalau di pura Batur melakukan karya dengan tingkat tertinggi ida betara akan mebeji agung ke Batubolong, Canggu. Kalau tingkat upacara menengah akan melakukan melasti ke Buleleng. Berdasarkan kajian ini dan berdasarkan petunjuk dari ida betara lingsir bhujangga yang diterima oleh penulis maka untuk karya agung di kawitan bhujangga Bali ini seharusnya mengambil pantai Batu Bolong Canggu, bukan pantai di Tabanan. Alasannya :
Seperti yang kita ketahui pura Batur merupakan stana utama dari Dewa Wisnu di tanah Bali. Jikalau sampai betara Wisnu yang berstana di pura Batur memutuskan memilih segara Batubolong sebagai tempat mebeji agung ini artinya dari sekian ratus pantai ditepi pulau Bali maka pantai yang memiliki vibrasi Wisnu atau Waisnawa paling besar d Bali adalah pantai Batubolong, Canggu. Oleh karena itu sebagai keturunan penganut paham waisnawa maka pantai Batubolong adalah pilihan terbaik untuk kebangkitan paham waisnawa dalam menjaga keseimbangan alam bali.

Di pantai Batubolong Canggu terdapat pura Bhujangga.
Sesuai cihna dan bukti yang sudah nyata ada dihadapan kita semua pratisentana bhujangga Bali bahwa satu-satunya pura Bhujangga ditepi pantai(selain Tledu Nginyah Gumbrih) yang tidak bisa berpindah tangan atau direbut oleh berbagai pihak yang ingin menjatuhkan bhujangga dari jaman dahulu sampai sekarang adalah pura Bhujangga, Canggu Batubolong. Kenapa leluhur begitu gigih mempertahankan pura ini dari jaman dahulu sampai sekarang, karena seperti yang diutarakan pada point pertama bahwa pantai Batubolong telah dari jaman Ida Maharsi Markandeya telah ditandai sebagai titik utama waisnawa di bali dan titik kebangkitan paham waisnawa. Dan jikalau ida betara kawitan melasti maka dengan keberadaan pura ini maka beliau bisa disanggra ditempat ini (sarana dan prasarana utama sudah siap) dan para semeton sane ngemit tur nyarengin ida melasti sida mesanekan ring genah sane sampun sayuakti duwen ida bhujangga.

Pemakaian pura Bhujangga Canggu akan memunculkan Lingga Acala yang pasti dari semeton Bhujangga Bali yaitu sesuai dengan konsep bhujangga Suku Cecek, Purusa Pradana, Gunung Segara, Bhujangga Sakti Bhujangga Luwih. Dimana Jatiluwih akan menjadi Gunung dan Batubolong menjadi Segara. Pertemuan dua kekuatan ini akan menjadi poros utama kebangkitan bhujangga Bali. Kelahiran kembali para pendeta dan pemimpin bhujangga.Oleh karena itu ida betara lingsir bhujangga sangat mengharapkan dua kutub ini bisa disatukan dalam karya agung ini. Sehingga pekelem kerbau bisa dilakukan di pantai Batubolong.

PENGRAJEG KARYA
Dikarenakan karya ini berlangsung di pura kawitan maka sudah sepatutnya yang didudukan sebagai pengrajeg karya adalah konsep purusa pradana karena kita datang ke kawitan pasti akan berharap bertemu leluhur lanang istri. Disamping itu dari jaman Bali kuna semeton bhujangga sudah memakai konsep keseimbangan ini sebagai pondasi utama dalam menata jagat bali dan menjaga keseimbangan sekala niskala jagat Bali sehingga para leluhur kuno ini diseluruh pura-pura kuno di Bali distanakan dalam konsep ida bhujangga sakti dan ida bhujangga luwih. Dikarenakan jatiluwih telah dipilih sebagai kawitan bersama seluruh semeton bhujangga diseluruh jagat maka seharusnya yang distanakan di Jatiluwih adalah konsep leluhur bhujangga kuno yang dikenal dengan Ida Bhujangga Sakti dan Ida Bhujangga Luwih. Beliau inilah yang seharusnya dijadikan pengrajeg karya sebagai simbol leluhur tertua yang akan menuntun dan membimbing sehingga karya dapat berjalan dengan lancar.Berdasarkan petunjuk dari para lelangit bhujangga maka pengrajeg karya dalam karya agung ini ada dua yaitu :
1. Ida Bhujangga Sakti yang dipendak ke Pura Puakan (Puncak Sabang Dahat).
2. Ida Bhujangga Luwih yang dipendak ke puncak kedaton (Puncak Gunung Batukaru).

Penulis/Narasumber : Guru Made Dwijendra Sulastra – Pedungan – Denpasar.
Dok. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana.