Photobucket Photobucket
SEKILAS INFO : bagi para semeton yang memiliki artikel dan layak untuk diketahui oleh kita semua khususnya tentang kebhujanggaan mohon kiranya dapat di kirim lewat e-mail ke : ngurah7wirawan@yahoo.co.id untuk diposting pada blog ini. suksma.

Senin, 27 Desember 2010

Sekte Waisnawa dan Tri Sadaka



Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12).
Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta.Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.
Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak.Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya.Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan.Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme.Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa.Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata.Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga.Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar.Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika.Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar.Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta.Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana.Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.
Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada.Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora.Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali.Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa.Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan.Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya.Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama.Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini.Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa.
Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana.Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana).Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte.Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai.Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan.Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik.Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali.Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu.Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga).Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
Nah, terkait dengan Bujangga Waisnawa sampai masuk ke Bali, sejarahnya tentu harus dicari lagi.Ternyata, walaupun tidak khusus juga terdapat di buku Leluhur Orang Bali karangan I Nyoman Singgih Wikarman tentang perjalanan Maharsi Markandya ke Bali.
Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung.Di sanalah maharsi dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian.Tapi sayang, murid-muridnya kena penyakit, banyak di antaranya meninggal.Akhirnya Beliau kembali ke Pasramannya di Gunung Raung. Di sanalah beryoga, ingin tahu apa sebabnya hingga bencana menimpa para pengikutnya. Hingga mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu adalah karena Beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke Gunung Tahlangkir (Tohlangkir) Bali.Kali ini mengajak serta pengikut sebanyak 400 orang.Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam Panca dhatu di lereng Gunung Agung itu.Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat.Maka, itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat maharsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi nama Pura Besakih.
Entah berapa lamanya Maharsi Markandya berada di sana, lalu Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi subak.
Di tempat ini Rsi Markandya menanam jenis-jenis bahan pangan.Semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik.
Oleh karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang artinya serba ada.Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi.Kehendak bahasa Balinya kahyun atau adnyana.Dari kata kahyun menjadi kayu.Kayu bahasa Sansekertanya taru, kemungkinan menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian.
Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Gunung Raung.Di sebuah bukit tempatnya beryoga juga didirikan sebuah pura yang kemudian dinamai Pura Payogan, yang letaknya di Campuan Ubud.Pura ini juga disebut Pura Gunung Lebah.
Berikutnya Rsi Markandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan.
Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui.Mereka bercampur dan membaur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajna seperti yang diajarkan oleh Rsi Markandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu.
Sebagai Rohaniawan (Pandita), orang Aga dan Bali Mula, adalah keturunan Maharesi Markandya sendiri yang disebut Warga Bujangga Waisnawa.
Dalam zaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Purohita mendampingi raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati Kuturan, seperti Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi Senapati Kuturan oleh Sang Ratu Adnyanadewi tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti Mpu Rajakerta (Mpu Kuturan). Ratu ini pula yang memberikan kewenangan kepada Sang Guru Bujangga Waisnawa untuk melakukan pacaruan Walisumpah ke atas. Karena sang pendeta mampu membersihkan segala noda di bumi ini. Lalu Mpu Atuk yang masih keturunan Rsi Markandya, di masa pemerintahan Sri Sakala Indukirana (1098 M), dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari Keturunan Bujangga Waisnawa.
Pada masa pemerintahan Suradhipa (1115-1119 M), yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Sang Rsi Markandya adalah Mpu Ceken, kemudian diganti oleh Mpu Jagathita.Kemudian ketika pemerintahan Raghajaya (1077 M), yang diangkat sebagai Senapati Kuturan yakni Mpu Andonaamenang, dari keluarga Bujangga Waisnawa.Demikianlah seterusnya.
Ketika pemerintahan raja-raja selanjutnya, selalu saja ada seorang Purohita Raja atau Dalem yang diambil dari keluarga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Markandya.Sampai terakhir masa pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali.Ketika itu yang menjadi Bagawanta Dalem, mewakili sekte Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi kesalahan Sang Guru Bujangga, di mana Beliau selaku Acarya (Guru) telah mengawini sisyanya sendiri yakni Putri Dalem yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini sang Guru Bujangga Waisnawa akan dihukum bunuh. Tapi Beliau segera menghilang dan kemudian menetap di wilayah Tabanan.
Semenjak kejadian inilah Dalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari Bujangga Waisnawa keturunan Sang Rsi Markandya.Setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi Bhagawanta diambil alih Brahmana Siwa dan Budha.Selesailah sudah peranan Bujangga Waisnawa sebagai pendamping raja di Bali.Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas restu Dalem, keluarga Bujangga Waisnawa tidak dimasukkan lagi sebagai Warga Brahmana.
Namun sisa-sisa kebesaran Bujangga Waisnawa dalam peranannya sebagai pembimbing masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih dapat kita lihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali aga/mula itu, selalu ada palinggih sebagai Sthana Bhatara Sakti Bhujanga.Alat-alat pemujaan selalu siap pada palinggih itu.Orang-orang Bali aga/mula, cukup nuhur tirtha (mohon air suci), terutama tirtha pangentas melalui palinggih ini.Sampai sekarang para warga ini tidak berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siwa.
Warga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Markandya sekarang telah tersebar di seluruh Bali. Pura Padarmannya di sebelah Timur Penataran Agung Besakih, sebelah Tenggara Padharman Dalem.Demikian juga pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung Kabupaten Klungkung, Batubulan Kabupaten Gianyar, Jatiluwih Kabupaten Tabanan dan lain-lain tempat lagi.
Begitulah Maharsi Markandya, leluhur Warga Bujangga Waisnawa penyebar Agama Hindu pertama di Bali, dan warganya sampai sekarang ada saja yang melaksanakan Dharma Kawikon dengan gelar Rsi Bujangga Waisnawa.


Dok. Pesraman Teledu Nginyah - Jembrana

Rabu, 17 November 2010

Pemugaran Beji Pura Teledu Nginyah Gumbrih-Jembrana.

Dalam rangka memelihara tetamian leluhur baik berupa  pura maupun  beji yang ada, maka sesuai dengan program kerja 2011 – 2015 Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana saat ini sedang dilakukan  pemugaran dan pelebaran “ Beji Teledu Nginyah – Gumbrih – Jembrana “. Adapun tahapan pelaksanaannya dimulai dengan mengadakan pertemuan antara Ida Bhujangga Rsi Gria Batur Suci – Gumbrih, Pengurus Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang diwakili oleh Guru Putu Tumulia Esnawa ( Wakil Sekretaris ), pemilik lahan dan para semeton penyanding. Pada kesempatan pertemuan tersebut telah disepakati akan melaksanakan pemugaran dan perluasan tegak karang beji. Selanjutnya telah dilakukan pula penyukatan karang yang dilaksanakan oleh Ida Bhujangga Rsi Dharma santika, Gria Batur Suci Gumbrih. Pelaksanaan pembangunan akan dilakukan secara bertahap didahului dengan pemasangan pondasi dan pembuatan tangga menuju bulakan suci yang berada di tepi sungai.Bagi para semeton Maha Warga Bhujangga Waisnawa dan umat hindu umumnya  yang ingin berdana punia dapat menyalurkan punianya kepada alamat sebagai berikut :

Dalam bentuk bahan bangunan dapat menghubungi Seksi Bangunan  Guru Putu Sumardika
dengan alamat : Desa Gumbrih, Kecamatan Pekututan, Kab. Jembrana, No. HP.085237256161.

Dalam bentuk uang dapat menghubungi Bendahara  Guru Nyoman Sinia
dengan  alamat : Desa Gumbrih, Kecamatan Pekututan, Kab. Jembrana  No. HP. 081338304553.

Melalui Rekening Pura Teledu Nginyah Desa Gumbrih pada Bank BPD Pekutatan  :  042.02.22.15126-0.

Semoga para leluhur selalu memberikan tuntunannya kepada kita semua.
Om Santih, Santih, Santih Om
Dok. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana

Panca Senjata atau Panca Bajra Ageman Ida Bhujangga Rsi Waisnawa.

Sering kali kita melihat Ida Rsi Bhujangga tatkala melakukan puja mantra dalam upacara bhuta yadnya, khususnya pecaruan disetiap ada upacara di pura maupun di rumah pribadi umat, menggelar Panca Senjata atau sering juga disebut Panca Bajra, tetapi sering kali kita belum dapat memahami makna dan kegunaan dari masing – masing Panca Senjata atau Panca Bajra tersebut. Sebagai gambaran sekelumit tentang diskripsi Panca Senjata atau Panca Bajra tentang bentuk, bahan, fungsi/kegunaan serta modelnya, dapat diuraikan seperti dibawah ini :

                                                                                    1. SUNGU.

Sungu terbentuk secara alami dari kulit Kerang Besar atau sering disebut Sangka Kala dalam kisah Mahabarata, sungu merupakan terompet perangnya Pandawa yang biasanya ditiup oleh Sri Krishna saat mulai dan berakhirnya perang di medan kurusetra. Satu – satunya dari Panca Senjata milik Ida Bhujangga Rsi Waisnawa yang terbentuk/terbuat secara alami. Bentuk dan modelnya sangat beragam.
Cara menggunakannya dengan meniup.
Kegunaan adalah untuk ngentegang buta-buti,kala-kali,kala dengen, tonyo alas,tonyan jurang bhuta – bhuti di perempatan dan di setra/kuburan.

                                                                                    2. GENTA ORAG.

Genta Orag terbuat dari kuningan terdiri dari genta yang kecil – kecil yang ditempatkan dalam satu tempat yang dilengkapi dengan ornamen yang beragam dan biasanya dilengkapi dengan tangkai tempat untuk memegang, jika dimainkan suaranya terdengar gemerincing. Bentuk dan modelnya sangat beragam.
Cara menggunakannya dengan mengoyangkan arah kanan dan kiri.
Kegunaannya untuk ngentagang jiwan buron yang berbisa/beracun dan yang membuat gatal.


                                                                                    3. KETIPLUK.

Ketipluk atau juga disebut Damaru terbuat dari kayu yang berdiameter sekitar 15 Cm yang dilobangi tembus kemudian di kedua ujung ditutup dengan kulit sapi mirip seperti kendang tetapi lebih kecil, di bagian tengah biasanya diikatkan tali serta pada ujung tali diberi benda kecil ( mirip ujung panggul kendang ), serta  diberitangkai tempat untuk memegang.
Cara menggunakannya adalah dengan memutar tangkai kekanan dan kekiri.
Kegunaannya adalah untuk mengundang dan ngentegang jiwan para preta atau atma kesasar, roh binatang/beburon.


                                                                                    4. GENTA UTER/BAJRA UTER.
Genta Uter/Bajra Uter terbuat dari kuningan serta dilengkapi dengan tongkat kecil serta ornament  yang beragam . Bentuk dan modelnya sangat beragam.
Cara menggunakannya dengan dipukul sekali dengan tongkat kecil kemudian diputarkan pada bibir Genta/Bajra Uter tersebut searah jarum jam. Jika kita mendengarkan suara genta/bajra uter ini dengan seksama suara yang terdengar terasa memenuhi angkasa.
Kegunaannya adalah untuk nuhur atau menurunkan para linggih Dewata Nawa Sanga untuk menyaksikan para bhuta – bhuti menerima lelabaan atau caru.


                                                                                    5. GENTA PADMA.

Genta Padma terbuat dari bahan kuningan dengan beberapa ornament.
Cara menggunakannya dengan digoyang. Pada umumnya kita telah lazim melihatnya ketika Ida bhujangga Rsi dan parasulinggih sedang melakukan puja mantra.
Kegunaannya adalah untuk nuntunang weda ( Japa Mantra ) sang sulinggih rikalaning memuja.
Bentuk dan modelnya yang pernah kita lihat selama ini seperti lazimnya yang telah digunakan oleh para sulinggih umumnya. Tetapi dengan bermunculannya genta/bajra belakangan ini peninggalan maharsi jaman dulu secara gaib/niskala ternyata bentuk dan modelnya sangat beragam.

Demikianlah sekelumit tentang Panca Senjata atau Panca Bajra yang dipergunakan dalam muput upacara, khususnya Upacara Bhuta Yadnya oleh Ida Bhujangga Rsi saat muput Caru. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita tentang Panca Senjata atau Panca Bajra ageman Ida Bhujangga Rsi Waisnawa. Jika para semeton mempunyai ulasan yang lebih mendalam tentang Panca Senjata atau Panca Bajra dapat disampaikan melalui e-mail ke : ngurah7wirawan@yahoo.co.id  dalam rangka memperkaya pengetahuan kita tentang tetamian leluhur. Suksma.

Sumber : Ida Bhujangga Rsi Dharma Santika Gria Batur Suci – Gumbrih dan Sumber lainnya.
Photo Panca Bajra : Druwen Ida Bhujangga Rsi Gria Batur Suci – Gumbrih.
Dok.Pesraman Teledu Nginyah Jembrana.

Kamis, 23 September 2010

Visi Dan Misi Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana

Drs. I Komang Wiasa,M.Si ( Mocol Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana 2010 - 2015 ).

Dalam agama Hindu, Wişņu merupakan salah satu dewa Trimurti yang dianggap sebagai dewa pemelihara dunia. Pemujaan terhadap Wişņu telah disinggung dalam Ŗg-Weda, Yajur-Weda, Sama-Weda, dan Atharwa-Weda. Dalam kitab-kitab itu, Wişņu belum dianggap sebagai dewa yang tinggi kedudukannya seperti pada masa selanjutnya. Dikatakan bahwa Wişņu mempunyai sifat sebagai matahari, dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia. Ia mengelilingi dunia dengan tiga langkah (tiwikrama). Wisnu merupakan dewa yang menjelma dalam tiga wujud; api, halilintar, dan sinar matahari. Ketiga wujud ini menunjukkan tiga wujud perjalanan matahari; terbit, mencapai cakrawala (zenit), dan terbenam.  Penyembahan pada Wisnu dalam bentuk matahari biasanya disebut Surya Narayana. Pemujaan Surya Narayana pada umumnya dikerjakan pada hari Minggu dan pada hari-hari besar tertentu. Dalam kitab Rg-Weda disebutkan bahwa Wisnu merupakan pelindung. Dari sinilah asal mula benih-benih yang kemudian berkembang menuju semakin tingginya kedudukan Wişņu di masa kemudian. Memelihara adalah merupakan sifat – sifat Dewa Wisnu oleh sebab itu sangat jelas tugas seorang waisnawa hendaknya meniru laku Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara. Adapun beberapa sumber tentang keagungan Dewa Wisnu antara lain :
  1. Harian Wina Naiwa Srestim Turanti artinya : diantara para dewa hanya wisnu yang memberikan kebahagian sejati ( Atarwa Weda ).
  2. Yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharata, abhyuttanam adharmasya tadatmanam sryamy aham artinya sesungguhnya manakala dharma berkurang kekuasaannya dan tirani hendak merajalela, wahai arjuna, saat itu Aku ciptakan diriku sendiri. Paritranaya sadhunam vinasaya ca duskrtram, dharma-samsthapanarthaya sambhavami yuge-yuge artinya untuk melindungi orang - orang baik dan untuk memusnahkan orang yang jahat, Aku lahir ke dunia dari masa ke masa, untuk menegakkan dharma.
  3.  Padmasana dilihat dari Fungsinya adalah untuk menstanakan tuhan beserta manifestasinya tetapi jika dilihat dari sisi ornament ada konsep Bedawang Nala dan Garuda Wisnu maka padmasana lebih spesifik sebagai tempat suci untuk menstanakan Dewa Wisnu ( Dewa Pemelihara ), maka sangatlah tepat jika seorang bhujangga waisnawa memiliki padmasana di rumahnya sebagai tempat suci untuk melaksanakan pemujaan kepadaNya.
Beliau tidak dapat dipami baik oleh Ilmu pengetahuan maupun meditasi belaka, beliau hanya dapat dipahami dengan kasih sayang dan ketaatan. Untuk mewujudkan dalam kehidupan sehari hari sifat pemelihara itu maka Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana sebagai salah satu organisasi telah  memiliki Visi, Misi dan Program serta Kegiatan untuk mengimplementasikan sifat – sifat Dewa Wisnu dalam kehidupan sehari – hari.

A. Visi  : Memelihara Warisan Leluhur Umat Hindu.
B. Misi :
1.    Memelihara diri ( Jatma Kertih ).
2.    Memelihara Keluarga.

3.    Memelihara Pura–Pura ( Atma Kertih ).
4.    Memelihara Griya.
5.    Memelihara Purana/Lontar/Piagem.
6.    Memelihara Lingkungan Hidup. ( Sad Kertih ).

C. Program Kerja 2011 – 2015.
1.    Pendataan Keluarga.
2.    Memelihara Griya.
3.    Memeliharan Pura Teledu Nginyah, Beji Pura Jati 

       Luwih, dan Tirta Segara Rupek.
4.    Melaksanakan Penghijauan dalam rangka Taman Gumi 

       Banten.
5.    Melaksanakan Pengabenan secara Kolektif.
6.    Melaksanakan Diklat Serati dan Pakerti Banten.

Dok. Pesraman Teledu Nginyah – Jembrana.

Senin, 20 September 2010

Upacara Pitra Yadnya“ Kusa Pranawa “ Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana Berjalan Sukses.

Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana mengadakan Upacara Pitra Yadnya“ Kusa Pranawa “( manut lontar Yama Purana Tatwa, Batur Kelawasan Petak dan Yama Purwana Tatwa )  yang puncak karyanya pada tanggal  15 September 2010  ( Budan Manis Wuku Dukut ). Persiapan pelaksanaan telah dimulai pada tanggal  18 Juli 2010 dimulai dengan rapat persiapan bertempat di  Gria Petamon, Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara kemudian diawali dengan upacara pengeringkesan dan dilanjutkan dengan Puja pengaskara pengabenan/tarpana saji pada tanggal 14 September 2010 kemudian dilanjutkan dengan Upacara Pelebuan ring setra Baler Bale  Agung, Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Jumlah Peserta Upacara  Pitra Yadnya “  KusaPranawa “kali ini diikuti sebanyak 42 pengarep dan sebanyak  64 pitara yang dipuput dengan rincian sebagai berikut : Memungkah sebanyak 6, Memukur sebanyak 19, Nglungah sebanyak 17 dan Ngepah Ayu sebanyak 22. Biaya yang di pungut untuk masing – masing upacara yang diikuti sebagai berikut :  Memungkah sebesar Rp. 2.500.000,- sampai meajar - ajar, Memukur sebesar Rp. 2.000.000,- sampai meajar - ajar, Nglungah sebesar Rp. 300.000,- dan upacara Ngepah Ayu sebesar Rp. 200.000,- yang merupakan upacara khas untuk pertama kali dilaksanakan oleh para semeton Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana. Biaya banten keseluruhan untuk upacara ini menghabiskan sebesar Rp. 19.000.000,-dengan banten pokok : Banten Pengabenan : Taman Pulegembal, Banten Pemukuran : Bebangkit Sari serta caru Manca Sanak.Upacara ini dipuput oleh Ida Bhujangga Rsi Hari Anom Palguna saking Gria Batur Tegalcangkring dan Ida Bhujangga Rsi Widya Sara saking Gria Petamon Kebon, Kelurahan Baler Bale Agung dan dibantu oleh pemangku serta kelompok serati pekerti banten “ Waisnawa “ Gria Bhujangga Rsi Petamon, Kebon, Kelurahan Baler Bale Agung Negara -Jembrana.Rangkaian upacara pitra yadnya ini dilanjutkan dengan meajar – ajar ke :Pura Gowa Lawah, dan kawasan Pura Besakih seperti : Pura Dalem Puri, Pura Basukihan, Pedarman Brahmana Bhujangga Waisnawa, Linggih Ida Rsi Markhandeya dan Penataran Besakih.Sebagai Yajamana Upacara Pitra Yadnya Kusa Pranawa ini adalah Ida Bhujangga Rsi Widya Sara dan Tapini Ida Bhujangga Rsi Widya Sari saking griya  Petamon Kebon Kelurahan Baler Bale Agung Negara. Melalui kesempatan ini segenap Panitia dan Pengarep mengucapkan terima kasih  kepada semua fihak atas semua bantuan yang telah diberikan sehingga Upacara Pitra Yadnya " Kusa Pranawa " ini dapat berjalan lancar.

Dok. Pesraman Teledu Nginyah - Jembrana.

Rabu, 28 Juli 2010

Jejak Perjalanan Ida Rsi Markandeya dan Ida Rsi Madura Di Tanah Lombok Dan Sekitarnya.

Setelah memastikan pulau Bali merupakan titik sinar yang beliau lihat pada waktu bersemedi di Gunung Raung Jawa. Maka untuk memastikan suatu saat nanti di masa depan pulau Bali akan tetap menjadi pulau yang suci, maka  Ida Maharsi Markandeya berusaha melindungi pulau Bali dengan cara memagari pulau Bali dengan sinar-sinar suci. Proses pemagaran pulau Bali ini terkait dengan penanaman panca datu di beberapa pulau yang mengelilingi pulau Bali. Tujuan dari penanaman panca datu di pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali ini adalah dengan tujuan jikalau suatu saat sinar kesucian pulau Bali mulai meredup akibat pola prilaku sekala-niskala dari penduduk Bali yang mulai tidak sesuai dengan kaidah Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita Karana maka sinar-sinar suci dari pulau-pulau yang mengelilingi pulau Bali inilah yang akan memberikan sokongan energi supaya energi kesucian pulau Bali tetap terjaga. Singkat cerita, dalam tulisan ini penulis memfokuskan pada perjalanan Ida Maharsi Markandeya ke tanah Lombok dalam rangka menanam panca datu dan dalam rangka menandai titik-titik spiritual di tanah Lombok yang suatu saat akan menjadi sumber energi spiritual yang bukan hanya akan menjaga keseimbangan pulau Lombok dan sekitar akan tetapi juga akan menjadi cadangan energi spiritual untuk pulau Bali jikalau pulau Bali sudah mulai kotor. Jejak perjalanan Ida Maharsi Markandeya ditanah Lombok diawali lewat Nusa Penida. Setelah menandai titik-titik spiritual di Nusa Penida seperti Puncak Mundi, Puncak Tunjuk Pusuh, Puncak Tinggar, Dalem Ped, Giri Putri, Sekar Taji dll, Ida Maharsi Markandeya melanjutkan perjalanan beliau ke pulau Lombok. Di pulau Lombok ini beliau pertama kali beryoga semadi di puncak Gunung Sari (sekarang menjadi lokasi pura Gunung Sari, Lombok), disini Ida ditemani oleh putun Ida yang bernama Ratu Ayu Manik Tirta Mas. Kemudian setelah itu beliau beryoga semadi di puncak Baliku (sekarang menjadi lokasi pura Puncak Baliku), disini Ida ditemani oleh istri beliau yang bernama Ida Ratu Niang Sarining Suci. Setelah itu beliau lanjut menandai titik Gunung Pengsong. Di Gunung Pengsong beliau bertemu dengan seorang wanita cina yang jaman sekarang dikenal dengan Ida Ratu Niang Gunung Pengsong atau ditanah Bali dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Di Gunung Pengsong ini Ida Hyang Maharsi Markandeya melakukan kawin kesaktian dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Jadi selama bertapa di Gunung Pengsong ini Ida Maharsi Markandeya ditemani oleh Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Tempat pertapaan beliau ini yang pada jaman sekarang ini menjadi cikal bakal Pura Puncak Gunung Pengsong. Taksu hasil kawin kesaktian dari Ida Maharsi Markandeya dan Ida Hyang Dewi Anjani di Gunung Pengsong ini merupakan taksu kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Setelah menyelasaikan proses pembangkitan sinar suci di Gunung Pengsong kemudian Ida Maharsi Markandeya ditemani dengan Ida Hyang Betari Dewi Anjani melanjutkan perjalanan ke Puncak Gunung Rinjani. Di Puncak Gunung Rinjani ini Ida Maharsi Markandeya mengumpulkan energi dari semua titik sinar suci di pulau Lombok yang suatu saat jika diperlukan akan dikirim ke pulau Bali untuk menjaga kesucian pulau Bali. Di puncak Gunung Rinjani ini Ida Hyang Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar kesucian yang beliau dapat di pulau Lombok. Akibat dari hasil penunggalan semua sinar suci pulau Lombok ini maka di Puncak Gunung Rinjani, Ida Betara Lingsir Maharsi Markandeya dikenal dengan Ida Hyang Lingsir Maharsi SUKMA JATI. Setelah Ida Maharsi Markandeya merasa cukup membangkitkan titik kesucian pulau Lombok, kemudian beliau berencana melanjutkan perjalanan meninggalkan pulau Lombok menuju Gunung Tambora. Untuk tetap menjaga kesucian pulau Lombok khususnya setelah ditinggalkan oleh beliau maka Tongkat Komando Penguasa pulau Lombok diserahkan kepada Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Karena tugas yang maha berat ini kemudian Ida Maharsi Markandeya menunggalkan semua sinar suci yang telah dikumpulkan selama masa pertapaan Ida dan Hyang Dewi Anjani dari pertapaan di Gunung Pengsong sampai puncak Gunung Rinjani. Hasil penunggalan/pemurtian sinar suci ini kemudian menyebabkan Ida Hyang Betari Dewi Anjani bergelar IDA HYANG BETARI AMBUN JAGAT. Gelar ini mencerminkan bahwa Ida Hyang Betari Dewi Anjani adalah pengayom dan pelindung jagat Lombok dan sekitarnya. Sehingga sampai saat ini yang diyakini berstana dan merupakan betara lingsir puncak Gunung Rinjani Lombok adalah Ida Hyang Betari Dewi Anjani. Sepeninggal Ida Maharsi Markandeya, suatu saat ratusan tahun kemudian atas petunjuk spiritual yang diberikan oleh Ida Maharsi Markandeya, datanglah murid spiritual beliau yaitu Ida Hyang Mpu Siddhimantra bertapa di puncak Gunung Rinjani untuk melanjutkan tugas Ida Maharsi Markandeya. Jadi di atas puncak Gunung Rinjani secara garis besar terdapat tiga Ida Betara Lingsir yang menjadi pengayom dan penjaga kesucian Gunung Rinjani yaitu : Ida Hyang Lingsir Maharsi Sukma Jati yang merupakan penunggalan dari Ida Maharsi Markandeya, Ida Hyang Betari Lingsir Ambun Jagat yang merupakan penunggalan dari Ida Hyang Betari Dewi Anjani dan Ida Hyang Mpu Siddhimantra sebagai pelaksana teknis dari Gunung Rinjani. Setelah menyelesaikan penandaan dan pembangkitan sinar-sinar suci di pulau Lombok kemudian Ida Hyang Maharsi Markandeya berdasarkan petunjuk yang didapat di puncak Gunung Rinjani kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Tambora. Berdasarkan petunjuk yang didapat dari puncak Gunung Rinjani, meskipun Gunung Tambora tidak berbatasan langsung dengan pulau Bali, akan tetapi jika tidak ditandai dan dibangkitkan sinar sucinya maka Gunung tersebut suatu saat akan bisa menghancurkan pulau Bali, ini terbukti dengan terjadinya letusan paling dasyat di muka bumi ini yaitu pada tahun 1881 dimana efeknya ikut meluluhlantakan kehidupan di Bali. Singkat cerita Ida Maharsi Markandeya sampai ke puncak Gunung Tambora, disini beliau bertemu dengan seorang wanita yang nantinya akan menjadi istri beliau di puncak Gunung Tambora beliau bernama Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan. Ida Hyang Betari Ibu Dewi Wulan sepeninggal Ida Maharsi Markandeya dari puncak Gunung Tambora, kelak kemudian hari juga dikenal dengan nama Ida Hyang Betari Bhujangga Suci. Atas tugas dari alam semesta untuk melindungi Gunung Tambora, sehingga ditempat ini Ida Maharsi Markandeya menanam pancer berupa manik-manik yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan Gunung Tambora. Atas tugas inilah alam semesta memberi gelar Ida Betara Lingsir Pancer Manik Tunggul kepada Ida Maharsi Markandeya sebagai Betara Lingsir Puncak Gunung Tambora. Sama seperti Ida Hyang Mpu Siddimantra yang dipanggil oleh Guru Niskala Ida yaitu Ida Hyang Maharsi Markandeya untuk melanjutkan menjaga kesucian puncak-puncak di tanah Lombok maka sama seperti halnya Ida Hyang Maharsi Madura. Ida Maharsi Madura dipanggil ratusan tahun berikutnya ke tanah Lombok untuk melanjutkan tugas Maharsi Markandeya untuk menjaga kesucian pulau Lombok. Akan tetapi, Ida Maharsi Madura dalam kapasitas sebagai Ida Rsi Dalem Segara, hanya ditugaskan untuk menjaga kesucian laut Lombok. Titik yang dipilih oleh Ida Rsi Madura dalam mendoakan dan menjaga kesucian laut-laut di pulau Lombok, pada jaman sekarang ini dikenal dengan PURA BATU BOLONG. Setelah jaman Ida Maharsi Markandeya, Ida Mpu Siddimantra dan Ida Maharsi Madura barulah ratusan berikutnya datang Ida Peranda Sakti Wawu Rauh atau yang nantinya di Lombok dikenal dengan Tuan Semeru. Ida Peranda Sakti tidak dapat napak puncak-puncak di Lombok, akan tetapi beliau napak di puncak Gunung Tambora. Disinilah beliau mendapat julukan Tuan Semeru. Mudah-mudahan dengan cerita di atas dapat membuka wawasan berpikir saudara-saudara di Bali akan jejak perjalanan para pendeta ditanah Lombok beserta dengan titik-titik napak tilasnya.

Sumber : Guru Made Dwijendra Sulastra.
Dok. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana

Selasa, 20 Juli 2010

Pengabenan Bersama/Kolektif.



Maha Waga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana akan mengadakan pengabenan bersama/kolektif yang puncak karyanya pada tanggal 15 September 2010 ( Buda Manis Wuku Dukut ). Persiapan pelaksanaan telah dimulai pada tanggal  18 Juli 2010 dimulai dengan rapat persiapan bertempat di  Gria Petamon, Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara dengan menghadirkan pengurus Kemoncolan yaitu Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa Guru Komang Wiasa,M.Si, Sekretaris Guru Putu Ngurah Wirawan, Guru Putu Gede Tumulia Esnawa, Ketua III Bidang Pelemahan Guru Kade Sarpa serta semua Kemancaan: Kemancaan    Melaya, Kemancaan Negara, Kemancaan Jembrana, Kemancaan Mendoyo dan Kemancaan Pekutatan serta Ida Bhujangga Rsi Widya Sara dan Ida Bhujangga Rsi Widya Sari Gria Petamon, Banjar Kebon, Kelurahan Baler Bale Agung sebagai narasumber. Acara rapat persiapan ini dipimpin oleh Guru Komang Wiasa, M.Si. Kegiatan pengabenan bersama/kolektif ini adalah merupakan Program Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana tahun 2010 -2015 yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Terakhir pelaksanaan pengabenan serupa pada bulan September 2008. Dalam pengarahan yang disampaikan oleh Guru Komang Wiasa bahwa pengabenan bersama /kolektif ini bertujuan membantu para semeton yang kurang mampu sehingga dapat melaksanakan kewajiban kepada keluarga yang telah meninggal melalui upacara pengabenan ( Pitra Yadnya ). Dengan pelaksanaan pengabenan kolektif ini akan dapat menghemat biaya namun tidak mengurangi inti pelaksanaan  upacara pengabenan tersebut serta akan menyederhanakan upakara banten yang selama ini sangat memberatkan umat, apabila tidak ada sumber sastranya. Besarnya biaya yang dikeluarkan diperinci persawa sebagai berikut : untuk Mungkah sebesar Rp. 2.500.000,-, Mukur sebesar Rp. 2.000.000,-Nglungah sebesar Rp. 300.000,-, sedangkan yang khas pengabenan kali ini adalah melaksanakan upacara “ Pengepah Ayu “ akibat keguguran atau mengugurkan kandungan ( Dhanda Bharunana ) dengan umur kandungan mulai 2 minggu dengan biaya sebesar Rp. 200.000,-. Tidak menutup kemungkinan bahwa pelaksanaan pengabenan bersama ini juga dapat diikuti oleh para semeton Maha Warga bhujangga Waisnawa yang ada di luar Kabupaten Jembrana, dengan batas waktu pendaftaran tgl. 8 Agustus 2010. Disamping pembahasan mengenai pengabenan bersama/kolektif juga dibahas pula program Donatur Tetap. Program ini juga merupakan program kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana 2010 – 2015. Program ini bertujuan mengumpulkan dana yang nantinya akan dipergunakan untuk memelihara tetamian leluhur seperti : pura ( Beji Pura Jatiluwih, Beji Pura Teledu Nginyah ),  lontar – lontar, memelihara gria – gria yang ada, pembangunan fisik lainnya serta dana untuk menjalankan kegiatan organisasi. Besarnya dana yang dipuniakan tergantung kemampuan para semeton, yang diharapkan bukan besar kecilnya dana donasi tetapi yang paling penting adalah rasa turut memiliki dan bersama – sama ikut memelihara tetamian leluhur. Dana ini akan dipungut tetap setiap bulan dengan mengisi formulir yang telah disediakan.
Dok. Pesraman Teledu Nginyah- Jembrana.

Sabtu, 17 Juli 2010

Pura Puncak Terate Bang Perspektif Dunia Spiritual

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam jejak perjalanan Ida Maharsi Madura di Seputaran Danau Beratan, dimana lokasi kebun raya bedugul merupakan lokasi pesraman agung Ida Rsi Madura dalam menuntun para pengikut beliau yang beraneka ragam supaya siap untuk hidup di pulau Bali, maka Ida Rsi Madura mengambil lokasi yang sekarang dikenal sebagai Pura Puncak Terate Bang sebagai lokasi tempat tinggal beliau dalam fungsi beliau sebagai guru besar pesraman agung danau beratan. Pesraman agung ini bukan hanya tempat untuk belajar ilmu pengetahuan, akan tetapi juga merupakan tempat ida rsi madura dalam mengajarkan ilmu kanuragan/kedigjayaan/bela diri untuk mempertahankan hidup pada jaman itu. Dalam fungsinya sebagai tempat belajar ilmu pengetahuan maka dilokasi pertapaan beliau yang sekarang dikenal dengan nama Pura Puncak Terate Bang, Ida Rsi Madura memuja Dewa Brahma dalam wujud sakti beliau yang dikenal dengan Dewi Saraswati sebagai dewinya ilmu pengetahuan. Disesuaikan dengan linggih/stana dari Dewa Brahma dan Dewi Saraswati yang bebentuk bunga Teratai Merah atau dalam bahasa bali disebut Terate Bang, maka Ida Rsi Madura menamakan Lokasi Pedukuhan/tempat tinggal beliau dengan sebutan TERATE BANG (yang artinya : Linggih Dewa Brahma Dalam Manifestasi Dewi Saraswati). Sehingga Pura Puncak Terate Bang merupakan pura yang dibangun sebagai tempat pemujaan kepada Dewa Brahma dan Dewi Saraswati sebagai dewanya ilmu pengetahuan. Di tempat inilah Ida Rsi Madura mengajarkan ilmu pengetahuan tentang kehidupan kepada para pengikut beliau. Sebagai pura pemujaan kepada Dewa Brahma maka seluruh atribut dalam pura ini didominasi oleh warna merah. Dalam fungsinya sebagai tempat belajar ilmu kanuragan/kedigjayaan/bela diri maka Ida Rsi Madura dan beberapa mpu pembuat keris yang menyertai beliau dari jawa juga mengajarkan ilmu pengetahuan membuat senjata kepada para murid beliau. Para murid beliau yang ahli dalam pembuatan keris ini beserta keturunannya inilah yang suatu saat nanti akan dikenal sebagai klan atau soroh Pande di Bali. Dikarenakan oleh Ida Madura tinggal dipedukuhan ini dikelilingi oleh teman dan murid-murid beliau yang membuat keris. Dan juga karena pura ini merupakan pemujaan kepada  Dewa Brahma yang juga merupakan Dewanya klan atau soroh Pande di Bali maka Pura Terate Bang ini juga dipakai sebagai salah satu napak tilas warga Pande di Bali. Pura Puncak Terate Bang terbagi menjadi 3 bagian yang saling bersebelahan secara horizontal. Bagian paling utara merupakan Pura Taman Beji. Dipura ini terdapat sumber air tawar yang tidak pernah kering bahkan mengalir seperti sungai kecil. Ini merupakan lokasi permandian dan sumber minum dari Ida Maharsi Madura pada jaman itu. Kemudian disebelah selatan dari pura Taman Beji ini atau Bagian yang ditengah-tengah merupakan Pura Penataran Terate Bang. Ditempat ini Ida Betara Lingsir Rsi Madura memberikan tuntunan ilmu pengetahuan tentang kehidupan kepada para murid beliau. Kemudian disebelah selatan dari Pura Penataran Terate Bang atau komplek pura paling selatan merupakan pura yang disebut dengan Pura Siwa Lingsir. Dari kata-kata SIWA yang di Bali identik dengan sebutan seorang pendeta, kita bisa tahu bahwa ditempat ini berstana seorang Pendeta atau yang disebut dengan Betara Lingsir di tanah Bali. Di Pura Siwa Lingsir ini merupakan lokasi tempat pertapaan Ida Maharsi Madura pada waktu beliau memuja Dewa Brahma sebagai Dewanya ilmu pengetahuan. Karena puja bakti yang begitu kuat oleh Ida Maharsi Madura maka Dewa Brahma berkenan bukan hanya memberikan anugerah ilmu pengetahuan akan tetapi juga berkenan memberikan anugerah yang lain yaitu munculnya tirta pingit dengan rasa nano-nano (asam, asin, manis jadi satu). Yang fungsinya sebagai obat untuk para pengikut beliau yang sakit. Pura Siwa Lingsir ini merupakan pura yang sangat pingit karena merupakan peyogan atau tempat pertapaan dari Ida Betara Lingsir Maharsi Madura dalam posisi beliau sebagai Kepala Pesraman Agung Beratan. Lewat tulisan ini dan juga beberapa tulisan tyang sebelumnya tentang Ida Rsi Madura, tyang juga ingin membuka wawasan semeton bhujangga akan konsep yang selama ini muncul bahwa rsi bhujangga merupakan Rsi Siwa Waisnawa. Konsep ini benar akan tetapi tidak menutup akan konsepsi rsi bhujangga yang lain. Ida Maha Rsi Madura merupakan seorang Brahma Rsi yaitu Rsi Pemuja Brahma. Beliaulah yang mengembangkan lebih lanjut tentang konsepsi brahma di tanah Bali yang dulu sudah ditanamkan lewat konsepsi pemujaan kepada TRI MURTI (BRAHMA, WISNU, SIWA) oleh Ida Maharsi Markandeya. Kemanapun beliau melangkah ditanah bali ini dan sempat bertempat tinggal ditempat tersebut pasti ditempat tersebut pada jaman sekarang ditempati oleh orang-orang yang bisa mengolah besi atau pada jaman ini dikenal dengan nama soroh atau klan Pande.
Sumber : Guru Made Dwijendra Sulastra – Denpasar.
Doc. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana.

Ida Maharsi Madura dan Perjalanan Beliau di Seputaran Danau Beratan.

Menurut Raja Purana Pura Puncak Pengungangan, Bedugul. Menyebutkan tentang perjalanan Ida Rsi Madura dengan diiring sekitar 400-800 orang pengikut beliau datang dari jawa ke daerah seputaran Danau Beratan untuk melakukan pertapaan dan untuk membangun tempat-tempat suci. Begitu juga seperti tersebut dalam Bhuana Tattwa Rsi Markandeya, dimana dinyatakan bahwa Ida Rsi Madura memperistri anak dari Ida Dalem Tamblingan yang bernama Ida Dewa Ayu Sapuh Jagat. Dari dua sumber tertulis ini dapat ditelusuri bahwa Ida Rsi Madura pernah lama bertempat tinggal di daerah seputaran Bedugul. Di seputaran tempat ini, beliau banyak membangun tempat suci atau pura yang banyak mengadopsi arsitektur Jawa disesuaikan dengan tempat kelahiran dan asal Ida Rsi Madura yaitu dari daerah Madura. Pura-pura ini kalau kita telusuri dari daerah selatan adalah Pura Puncak Sari, Pura Puncak Kayu Sugih, Pura Puncak Pengungangan, Pura Batu Meringgit, Pura Puncak Terate Bang (Pura Puncak Bukit Tapak), Pura Penataran Beratan, Pura Candi Mas, Pura Puncak Rsi, Pura Puncak Taman Sebatu (Pura Ulun Danu Beratan yang asli). Pura-pura ini terletak diseputaran Danau Beratan. Kemudian di Danau Buyan beliau membangun Pura Ulun Danu Buyan. Di samping di seputaran Danau Beratan dan Banau Buyan,  pada jaman itu beliau juga memugar dan memperbaiki serta menandai pura-pura diseputaran Danau Tamblingan seperti Pura Ulun Danu Tamblingan, Pura Pengubengan, Pura Endek, Pura Dalem Tamblingan, Pura Tirta Mengening, Pura Puncak Lesung, Pura Naga Loka. Inilah sekilas jejak perjalanan Ida Betara Lingsir Rsi Madura di daerah seputaran Danau Beratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan.Berikut ini penulis akan coba memaparkan lebih jauh tentang perjalanan Ida Maharsi Madura dari seputaran danau beratan (Sumber : Pewisik Niskala). Ida Rsi Madura merupakan seorang Maharsi sakti yang berasal dari tanah Jawa. Beliau merupakan kombinasi antara karakter seorang brahmana dan ksatria. Dulu di India karakter ini dimiliki oleh salah satu dari 10 awatara dari Dewa Wisnu yaitu Parasu Rama Awatara. Parasu Rama merupakan seorang brahmana yang terlahir sebagai anak dari Rsi Jamadagni. Meskipun beliau terlahir sebagai seorang brahmana akan tetapi karakter utama yang muncul dalam diri beliau justru sifat seorang ksatria, dimana kemana-mana beliau membawa kapak dan memerangi para ksatria yang berbuat tidak adil di muka bumi ini. Bgitu juga Ida Betara Lingsir Rsi Madura. Beliau terlahir sebagai putra dari Ida Maharsi Sunia Murti. Dari kecil beliau dibentuk dengan karakter seorang brahmana, akan tetapi semakin mendekati dewasa, justru sifat ksatria yang semakin jelas kelihatan dari diri beliau. Beliau sangat senang berkelahi terutama untuk membela kaum yang tertindas. Beliau sangat senang bertapa untuk mendapatkan wahyu ilmu kedigjayaan. Sampai suatu saat beliau mendapatkan pusaka keris dari hasil bertapa beliau pada waktu remaja mendekati dewasa di pesisir pantai Madura. Semenjak saat itu ida Maharsi Madura tidak pernah terpisahkan dengan keris seumur hidup beliau. Beliau merupakan satu-satunya pendeta brahmana yang setiap saat menyelipkan keris dipinggang beliau. Karena kesaktian beliau yang sangat tinggi, sehingga banyak orang yang berguru kepada beliau. Salah satu murid beliau adalah Arya Wiraraja, yang nantinya akan menjadi penguasa pulau Madura. Ketika Raden Wijaya meminta bantuan kepada Arya Wiraraja untuk membantu menumbangkan kerajaan kedirinya Jaya Katwang, Ida Rsi Madura juga yang memberikan petunjuk-petunjuk perang, bekal-bekal aji kesaktian sehingga akhirnya pasukan Raden Wijaya dan pasukan Arya Wiraraja dibantu oleh pasukan dari negeri Cina bisa menumbangkan pemerintahan Jaya Katwang. Hingga akhirnya Majapahit berdiri. Setelah Majapahit berdiri beliau ditawarkan jabatan untuk menjadi kepala pendeta kerajaan Majapahit, akan tetapi beliau menolak karena pada waktu itu beliau mendapat wahyu dari leluhur beliau Ida Maharsi Markandeya untuk datang ke pulau Bali, melakukan suatu tugas suci membangkitkan tempat-tempat suci serta memperkuat pondasi keagamaan di Bali. Pada waktu keberangkatan beliau dari Jawa menuju Bali beliau banyak diiringi oleh para pengikut beliau, terutama disertai oleh beberapa para mpu pembuat keris yang memang sengaja diajak ikut oleh Ida Rsi Madura untuk membuatkan beliau keris-keris, baik untuk pribadi maupun untuk persenjataan disepanjangan perjalanan. Pada waktu itu belum ada klan atau soroh Pande di Bali. Para pembuat keris yang diajak oleh Ida Rsi Madura beserta para keturunannya inilah yang kelak akan dikenal sebagai klan atau soroh pande di Bali. Singkat cerita sampailah pada perjalanan beliau di daerah seputaran Danau Beratan, disini pertama beliau bermalam di daerah yang sekarang menjadi lokasi pura Penataran Beratan. Karena dinginnya kondisi alam membuat beliau dan para pengikutnya cukup sulit untuk bisa beradaptasi, kemudian beliau mencari tempat yang cocok untuk bersemedi serta untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan alam diseputaran Danau Beratan. Kemudian beliau berjalan ke arah selatan dan sampai dilokasi Pura Puncak Pengungangan. Disini beliau bertapa di atas sebuah batu bundar yang sampai sekarang masih ada di pura itu. Di sini beliau memuja kekuatan trimurti dengan mengucapkan japa mantra.. OM ANG UNG MANG OM..berulang kali, mendengar doa pemujaan Ida Rsi Madura yang begitu tulus dan murni maka salah satu Dewa Tri Murti yaitu Dewa Brahma berkenan turun di puncak bukit yang berhadapan dengan  lokasi bertapa Ida Rsi Madura ini. Dari atas puncak bukit itu mengalir udara hangat sehingga Ida Rsi Madura dan para pengikut beliau bisa selamat dari bahaya cuaca ekstrim yang sangat dingin pada waktu itu. Lokasi tempat Ida Maharsi Madura bertapa memuja kekuatan Sanghyang Tri Murti itu sekarang dikenal dengan nama Pura Puncak Pengungangan. Dimana kata pengungangan itu berasal dari kata ANG UNG  MANG. Puncak bukit dimana Dewa Brahma berkenan turun untuk memberkati doa Ida Rsi Madura, sekarang dikenal dengan nama Bukit Puun. Kenapa dinamakan Bukit Puun, karena khusus hanya di bukit ini, setiap beberapa tahun sekali pasti terjadi kebakaran di puncak bukitnya, sesuatu yang seharusnya sangat susah terjadi di daerah dengan cuaca dingin dan berkabut setiap hari seperti di daerah Bedugul. Akan tetapi menurut beliau hal itu terjadi untuk mengingatkan warga masyarakat di Bedugul bahwa puncak bukit itu dahulu pernah di pake Dewa Brahma untuk menurunkan kehangatan di daerah seputaran Danau Beratan sehingga manusia bisa bertempat tinggal dan hidup menetap ditempat itu. Dan anehnya, setiap kali terjadi kebakaran di puncak Bukit Puun maka apinya sangat susah untuk dipadamkan. Apinya baru bisa dipadamkan  jika masyarakat mau berkaul dan melakukan pemujaan di batu bundar tempat bertapa Ida Rsi Madura, setelah itu pasti turun hujan lebat bisa sampai berhari-hari, barulah kebakaran di atas puncak bukit itu bisa padam. Selama bertapa di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Pura Puncak Pengungangan, beliau juga membangun Pura Puncak Sari dan Pura Puncak Kayu Sugih, dimana pada tempat ini dipuja sakti dari istri-istri beliau. Setelah beliau dan para pengikut beliau mulai bisa beradaptasi dengan cuaca di seputaran Danau Beratan, barulah beliau memutuskan untuk menetap untuk beberapa waktu yang cukup lama diseputaran daerah itu. Mulailah kehidupan sosial masyarakat berkembang di daerah Bedugul. Sesuai dengan petunjuk Ida Sanghyang Jagatnata ( Ida Maharsi Markandeya). Beliau mulai menata daerah tersebut. Karena sudah mulai ada kehidupan sosial, maka mulailah diperlukan Pasar ( ekonomi ), Sekolah/Pesraman ( Tempat pendidikan dan pengobatan ), Tempat Pertapaan dll. Lokasi pasar jaman itu sekarang dikenal dengan Pura Candi Mas. Lokasi Pesraman Agung jaman itu tempat untuk mendidik manusia supaya siap untuk menghadapi hidup dunia nyata berada di lokasi Kebun Raya Bedugul. Lokasi pesraman agung Ida Rsi Madura di Kebun Raya Bedugul ini dibagi menjadi tiga, yaitu tempat tinggal para murid pesraman, tempat tinggal para guru yang dipimpin oleh Ida Maharsi Madura, dan tempat berlatih para murid.  Lokasi tempat tinggal para murid pada jaman itu sekarang dikenal dengan nama Pura Batu Meringgit dan Lokasi tempat tinggal Ida Maharsi Madura dan para guru lainnya sekarang dikenal dengan Pura Puncak Terate Bang. Sedangkan areal tempat latihan dari pesraman agungnya adalah lokasi yang dikenal sekarang ini dengan nama Kebun Raya Bedugul. Untuk areal pemukiman penduduk pada jaman itu adalah dari areal Pura Candi Kuning sampai seputaran areal Pura Puncak Pengungangan. Setelah membangun tempat-tempat untuk perkembangan kehidupan dunia nyata. Kemudian Ida Maharsi Madura, mencari tempat untuk bertapa dalam rangka peningkatan kehidupan spiritual beliau dan para pengikut beliau. Berdasarkan petunjuk dari Ida Maharsi Markandeya yang telah lebih dahulu menapak tempat itu pada jaman sebelumnya, lokasi yang dipilih ada bagian utara dan timur dari danau beratan. Tempat bertapa beliau adalah di Puncak Gunung Beratan yang jaman sekarang dikenal dengan nama Puncak Mangu ( terkait dengan pendiri kerajaan mengwi pernah bertapa disana ) atau dikenal sekarang ini dengan nama lain Puncak Tinggan karena salah satu sisi gunung ini berada di desa tinggan. Selesai bertapa disini beliau akan turun untuk mengajarkan semua wahyu yang beliau dapatkan kepada para murid yang ingin meningkatkan kehidupan rohani menjadi seorang pendeta dan menuntut ilmu pengetahuan rohani yang jaman sekarang dikenal dengan Brahma Widya. Lokasi Pesraman tempat pembentukan para calon pendeta ini sekarang dikenal dengan Pura Puncak Resi, karena tempat ini merupakan tempat para rsi memohon tuntunan spiritual kepada beliau. Disebelah timur pura puncak rsi ini berstana sakti beliau dan pura ini bernama Pura Puncak Taman Sebatu yang merupakan pura ulun danu beratan yang sebenarnya. Inilah sekilas informasi tentang perjalanan Ida Maharsi Madura diseputaran Danau Beratan. Mudah-mudahan informasi ini bisa berguna untuk para semeton sareng sami terutama para semeton yang masih mau meluangkan waktu untuk menapak tilas perjalanan Ida Maharsi Madura sebagai leluhur orang Bhujangga.

Sumber : Guru Made Dwijendra Sulastra – Denpasar.
Doc. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana.

Jumat, 09 Juli 2010

SUDARSANA YOGA CENTRE

Sudarsana Yoga Centre milik Ida Bhujangga Rsi Hari Anom Palguna  Gria Batur Tegalcangkring telah diperkenalkan dan diresmikan pemanfaatannya pada tanggal 8 Juli 2010, ritual upacara pemelaspas sendiri telah dilakukan pada  tanggal 6 Juli 2010. Hadir pada kesempatan tersebut sejumlah undangan antara lain perwakilan beberapa sulinggih yang ada di Kabupaten Jembrana, Ketua PHDI Kabupaten Jembrana bapak I Ketut Semaraguna,BA, Drs. I Komang Wiasa, M.Si selaku Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana, Bendesa Pekraman Tegalcangkring Guru Nyoman Sudiana, Para Kelian adat  pekraman Tegalcangkring, praktisi yoga bapak I Gusti Ngurah Panji Tisna ,para peserta yoga baik dari desa Tegalcangkring sendiri maupun rombongan  peserta yoga dari Denpasar. Dalam sambutannya Ida Bhujangga Rsi Hari Anom Palguna sebagai pemilik yoga centre ini dan satu – satunya yang ada di Kabupaten Jembrana , menyampaikan secara kronologis melatarbelakangi berdirinya “ Sudarsana Yoga Centre “ ini, setelah Ida Rsi bertemu dan mendapatkan pengakuan serta restu  dari maharsi guru deva Sri Sri Sangker dari India sebagai pemilik utama yoga ini. Ida Rsi mengharapkan agar semua umat  dapat mengikuti kegiatan yoga ini tanpa membedakan agama apapun, karena kegiatan yoga ini murni untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan. Dalam sambutannya Ketua PHDI Kabupaten Jembrana mengatakan bahwa gria bukan saja untuk umat nunas yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan tetapi sangat cocok juga sebagai tempat latihan yoga karena keduanya saling melengkapi, disamping kita harus sehat rohani melalui kegiatan agama tetapi badan kita harus dapat terpelihara dengan baik melalui latihan yoga, ditegaskan harus ada keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani dalam hal ini beliau mencontohkan slogan “ di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang  sehat “. Disamping itu Ketua PHDI juga memuji inovasi yang dikembangkan oleh Ida Bhujangga Rsi Anom Palguna dengan mendirikan yoga centre ini. Guru I Komang Wiasa, M.Si selaku Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa dalam sambutannya menyampaikan bahwa tugas utama dari parisentana bhujangga wasinawa adalah memelihara alam, termasuk didalamnya memelihara  kesehatan diri sendiri. Memelihara diri sendiri  dapat dilakukan dengan berlatih gerakan yoga. Pada bagian akhir sambutannya Guru Komang Wiasa,M.Si menitipkan kepada para peserta yoga dan umat agar gria dan yoga centre ini dapat dimaanfaatkan sebaik mungkin, gria bukan saja untuk umat mendiskusikan kegiatan keagamaan tetapi gria juga agar dapat difungsikan untuk kegiatan lain seperti berlatih yoga dan sebagainya. Pada bagian akhir Guru Komang mengharapkan agar yoga centre ini  dapat memberikan manfaat. Pada kesempatan tersebut juga dijelaskan banyak hal tentang yoga serta diperagakan latihan dasar yoga oleh I Gusti Ngurah Panji Tisna seorang praktisi yoga.
Doc. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana.

Minggu, 23 Mei 2010

Upacara Pengepah Ayu Dhanda Bharunana (Keguguran/Menggugurkan Kandungan)

Dalam kehidupan ini sering kali antara apa yang kita inginkan dengan kenyataan yang diterima kadang tidak sejalan. Sesuai dengan kodratnya keberadaan manusia di dunia ini melalui proses lahir hidup dan mati. Berbicara soal kelahiran sangatlah menarik, mungkin hari kelahiran yang kita inginkan kepada anak kita  dapat kita tentukan dengan bantuan dokter melalui bedah sesar yang lazim ditempuh pada saat ini berkat kemajuan teknologi kedokteran. Namun berbicara soal kematian jarang orang membicarakan padahal hal itu sudah pasti datangnya, hal ini mungkin disebabkan bahwa hari kematian itu adalah sepenuhnya hak sang pencipta. Sepasang pengantin yang baru menikah sudah tentu ingin memiliki parisentana/anak yang didambakannya namun kadang hal yang diharapkan tidak sesuai dengan keinginannya, misalnya mengalami keguguran atau bias saja terjadi pada pasangan suami istri yang telah memiliki keturunan dan tidak lagi menginginkan keturunan, lalu melakukan penguguran kandungan     ( aborsi ). Atau misalnya sepasang kekasih yang belum memiliki ikatan hubungan suami istri akibat salah pergaulan menyebakan kehamilan dan kehamilan ini tidak diharapkan lalu ia menggurkan kandungannya ( aborsi ), untuk menutupi aibnya, seperti yang sangat familiar kita dengar melalui siaran televisi, berita koran dan media massa lainnya. Jika peristiwa ini terjadi pada kita  sebagai umat Hindu apakah yang harus kita lakukan ?. Seperti yang telah disampaikan pada suatu kesempatan oleh  Prof.DR dr. LK Suryani , bahwa jika telah terjadi pertemuan benih pria dan wanita dan terjadi kehamilan berarti telah terjadi kehidupan. Sebagai umat Hindu yang percaya dengan keberadaan sang atma sangatlah penting untuk melaksanakan upacara terhadap si cabang bayi itu, meskipun belum berwujud, agar tidak menyebabkan kekacauan ( ngrubeda )  dalam keluarga, melalui upacara yang disebut dengan upacara     “ Pengepah Ayu “ akibat keguguran atau mengugurkan kandungan ( Dhanda Bharunana ) “. Mungkin upacara ini sangat jarang kita dengar dan jarang pernah kita lihat implementasinya. Pelaksanaan upacara ini  berdasarkan  Lontar  Lebur Gangsa dan Sunari Gama. Bagaimana pelaksanaannya ?.  Berikut tata upacara , urutan serta banten yang diperlukan.
Proses Pelaksanaan Upacara ini dilaksanakan di Laut/Segara.
  1. Sebelum pelaksanaan upacara di Laut, pertama kali wajib mengadakan upacara Pakeling dan Upacara Guru Piduka di Kemulan, kemudian nunas tirta untuk dibawa ke Laut. Upakara Meguru Piduka di Kemulan : Daksina Pejati, Ketipat, Pras, dan runtutannya. Banten Guru : mealed taledan, raka-raka sarwa galahan, tumpeng guru, kojong rangkadan, sampyan jeet guak. Sesayut Guru Piduka/Bendu Piduka : taledan kulit sesayut, raka – raka jangkep, tumpeng putih meklongkang plekir, kojong rangkadan, limang tebih jaja bendu,suci, kwangen 1 buah,sampyan naga sari, penyeneng, wadah uyah, pebersihan dan runtutannya.
  2. Di laut, dipinggir laut/dipasir membuat pempatan agung ( persilangan ) menggunakan kain putih atau kain kasa.
  3. Nanceb sanggah cucuk : upasaksi ke surya munggah banten daksina, katipat pras, punjung, dan runtutannya. Ring sor sanggah : segehan gede asoroh.
  4. Di natar segara, di perempatan kain putih, bantennya sebagai berikut : a. banten yang dipakai untuk roh bayi : Bungan pudak, bangsah pisang, kereb sari, punjung dan banten bajang. b. Banten untuk ngulapin roh bayi : sorohan, pengulapan-pengambeyan, peras, daksina, ketipat, kelungah nyuh gading disurat ong kara ( genah ngadegan roh bayi ), kemudian dilakukan pemujaan ( mengembalikan kepada sanghyang sankanparaningdumadi ) roh bayi tersebut kemudian dilakukan pebaktian bagi roh bayi tersebut untuk kembali ke asalnya. Setelah itu klungah nyuh gading dan semua banten yang digunakan di hanyutkan ke laut.
  5. Pemuput pelaksanaan upacara Pengepah Ayu ini boleh dilakukan oleh pemangku, khususnya pemangku khayangan Dalem.
Demikianlah dengan melaksanakan upacara ini setidaknya kita telah melakukan salah satu dharma kita kepada mereka yang telah tiada. Bagi para semeton yang ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang upacara ini dapat menghubungi Ida Bhujangga Rsi  Arimbawa Puja Segara, Griya Tasik – Ngis – Tabanan atau griya terdekat. Semoga apa yang disampaikan ini dapat bermanfaat.Suksma.

Doc. : Pesraman Teledu Nginyah Jembrana.

Kamis, 20 Mei 2010

NIYASA CAKRA ASTA BHUANA

Niyasa CAKRA  ASTHA BHUWANA adalah Niyasa atau Lambang pesemetonan Maha Warga Bhujangga Waisnawa.


Arti Niyasa atau Lambang  tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :





SEGI LIMA BERWARNA DASAR HITAM.

SEGI LIMA : Lambang Bumi atau Alam Nyata/ Bhur Loka, amongan Sang Bhujangga, yang dengan Panca Bajra (BajraUter, Bajra-Padma, Bajra Orag, Bajra-Ketipluk dan Bajra- Sungu). WARNA DASAR HITAM : Lambang Hyang Wisnu. ARTINYA : Bhujangga berwatak laksana Bumi, yaitu penetral, dapat menerima pendapat orang lain, damai, tenang dan teguh pada kebenaran, karena meyakini, menjunjung tinggi dan bhakti kepada Hyang Wisnu ( waisnawa ).

CAKRA  BERWARNA  KUNING  EMAS.

CAKRA : Lambang senjata Sri Kresna yang ampuh. WARNA KUNING EMAS : Lambang Kesucian, kebenaran, kesederhanaan.ARTINYA : Dengan kesederhanaan, kesucian, kebenaran Kresna, awatara Tuhan, membimbing manusia untuk kembali ke Jalan Tuhan mencapai Moksa.


LINGKARAN BESAR DAN LINGKARAN KECIL BERWARNA PUTIH DAN MERAH.

LINGKARAN BESAR PUTIH : Lambang Bhuwana Agung, alam semesta.LINGKARAN KECIL MERAH : Lambang Bhuwana Alit ( manusia ) .ARTINYA : Dengan keberanian dan tekad suci Maha Warga Bhujangga Waisnawa menunju keseimbangan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit ( antara jasmani dan rohani ).

PADMA ASTA DALA DI ATAS AIR.
BUNGA TUNJUNG : Lambang Stana Ida Hyang Widhi Wasa ( berdaun delapan, berwarna hijau). AIR BERWARNA BIRU : Lambang kesamaan dan ketenangan. ARTINYA : Maha Warga Bhujangga Waisnawa berpandangan bahwa Manusia sama dihadapan Tuhan ( manusa pada ), dalam kehidupan ini setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dengan ketenangan meningkatkan jati diri agar dapat menyatu dengan Tuhan ( Moksa ).


SWASTIKA BERWARNA KUNING EMAS
SWASTIKA : Lambang perputaran abadi ( alam semesta ). WARNA KUNING EMAS : Lambang kesucian, kebenaran, kesederhanaan. ARTINYA : Dinamika perkembangan Agama Hindu ( Waisnawa ) sesuai Desa Kala Patra dengan tetap mencerminkan kesederhanaan, kesucian dan kebenaran sejati.

Doc. Pesraman Teledu Nginyah Jembrana.

Senin, 17 Mei 2010

Lokasabha Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana 2 Mei 2010.

Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana pada tanggal 2 Mei 2010 telah  menyelenggarakan Lokasabha, pelaksanaan lokasabha tersebut berdasarkan Surat Moncol Pusat  Maha  Warga  Bhujangga  Waisnawa  Nomor  003.PP-MWBW.2-2010, tanggal 20 Pebruari 2010, perihal Pelaksanaan Sabha dan Lokasabha. Dari hasil pelaksanaan Lokasabha tersebut telah berhasil dipilih secara aklamasi tentang kepengurusan kemoncolan Kabupaten Jembrana yang baru untuk masa bhakti        2010 – 2015. Mekanisme  pelaksanaan lokasabha ini sesuai dengan surat  Moncol Pusat  Maha Warga Bhujangga Waisnawa diatas hanya memilih Sesepuh, Pengurus Harian ( Moncol/Ketua, Sekretaris dan Bendahara ) sedangkan Seksi – Seksi akan dilengkapi setelah pelaksanaan Mahasabha yang akan dilaksanakan oleh Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa, sehingga dapat menyesuaikan dengan struktur kepengurusan Moncol Pusat yang akan terbentuk nanti. Dalam pelaksanaan Lakasabha ini telah berhasil terpilih sebagai   berikut : Sesepuh/Penasehat/Pengelingsir Guru I Gede Winasa dari Kelurahan Tegalcangkring, Guru Gede Kompyang Sumerta dari Desa Gumbrih, Guru Ketut Gede Astawan dari Desa Penyaringan ,Guru Ketut Sualem dari Desa Tuwed  dan Guru Kompyang dari Desa Sumbersari. Sedangkan untuk Kepengurusan Kemoncolan telah terpilih sebagai berikut : Moncol/Ketua Guru I Komang Wiasa dari Desa Baluk, Sekretaris Guru Putu Ngurah Wirawan dari Desa Gumbrih, Wakil Sekretaris Guru Putu Gede Tumulia Esnawa dari Desa Banyubiru dan Bendahara Guru Komang Suardika dari Kelurahan Baler Bale Agung Negara. Kepengurusan kemoncolan tersebut telah ditetapkan dengan  Keputusan Pengurus Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa Nomor : 011 . Pp-Mwbw .V . 2010, tanggal 2 Mei 2010, tentang Pengukuhan Susunan Dan Personalia Pengurus Moncol Maha  Warga  Bhujangga  Waisnawa   Kabupaten  Jembrana  Masa    Bhakti   Tahun 2010 – 2015, yang dibacakan oleh Sekretaris Umum Pengurus Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa  Guru Made Raka Metra. Untuk penyegaran organisasi pengurus kemancaan di Kabupaten Jembrana,  telah pula  ditetapkan kepengurusan pada masing – masing Kemancaan pada tanggal 25 Juni 2010 yaitu : Kemancaan Melaya Guru Ketut Cakra dari Desa Candikusuma, Kemancaan Negara Guru Putu Agus Arimbawa dari Kelurahan Baler Bale Agung, Kemancaan Jembrana Guru Kadek Sapta dari Desa Dangintukadaya, Kemancaan Mendoyo Guru Made Wijana dari Kelurahan Tegalcangkring. Dalam sambutan yang disampaikan oleh Pengurus Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua I Pengurus Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa  Guru Drs. Putu Suasta, MA , mengajak parasemeton  Warga Bhujangga Waisnawa agar dapat merekatkan lagi pesemetonan yang sudah baik ini, sehingga dapat mengatasi tantangan kedepan. Sedangkan dalam sambutan yang disampaikan oleh Penasehat Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Jembrana yang dalam hal ini diwakili oleh Guru Gede Winasa mengajak para semeton Maha Warga Bhujangga Waisnawa untuk menunjukan kerja yang baik dimanapun berada sehingga peran dan karya parisentana bhujangga waisnawa dapat memberikan kebahagiaan bagi lingkungannya. Untuk mewujudkan itu Guru Gede Winasa senantiasa mengajak para semeton untuk meraih pendidikan setinggi mungkin karena dengan pendidikan cita – cita itu dapat diraih.Acara lokasabha dihadiri oleh perwakilan para semeton Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang ada di masing – masing  kecamatan dan  Ida Bhujangga Rsi ketiga griya yang ada di Kabupaten Jembrana, serta sekaligus dilakukan pelantikan pengurus kemoncolan yang baru oleh Pengurus Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa.Pada akhir acara diisi dharma wacana oleh Ida Bhujangga Rsi Arimbawa Puja Segara dari Griya Tasik – Ngis Tabanan dengan materi “ Matirta Gemana “ dan “ Pengepah Ayu tentang Menggugurkan Kandungan/Keguguran ( Dhanda Bharunana )”.

Sabtu, 15 Mei 2010

Profil Ida Bhujangga Rsi Hari Anom Palguna, Griya Batur, Kelurahan Tegalcangkring, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana

Demi Titah Leluhur Kembali ke Kawitan Sulit memang, kalau jalan hidup sudah diatur oleh Hyang Widhi, rencana yang sudah matang pun menjadi lain karena melanjutkan titah leluhur. Sebaliknya, kalau ditolak akan banyak masalah akan menimpa keluarga yang silih berganti berdatangan, termasuk ekonomi keluarga menjadi kacau balau. Apa salahnya melanjutkan kepanditan leluhur kalau sudah kehendak Tuhan.Seperti pepatah mengatakan, setinggi-tingginya burung terbang, atau sejauh-jauhnya burung merantau guna mencari makan, pada akhirnya kembali jua ke sarangnya atau ke tanah kelahirannya. Begitulah kehidupan bagi orang yang merantau di tanah orang. Walaupun rencana matang sudah dilakukan. Tapi, kehendak leluhur atau Hyang Widhi memutuskan lain.Begitu perjalanan seorang sulinggih dengan bhiseka Ida Bhujangga Rsi Hari Anom Phalguna selama walaka. Awalnya, tutur Ida Rsi dengan nama walaka I Gede Putu Widnyana, S.Sos, tidak akan kembali ke tanah leluhurnya. Guna memantapkan rencana tersebut, demi perkembangan umat Hindu, akhirnya fakta bicara lain. Sulinggih dengan 3 anak ini pun tidak bisa memutuskan secara saklek kehendak apa akan direncakan di Irian. Pasalnya, datang surat dari Pulau Dewata, memberikan ketegasan yang tidak bisa ditolak.“Pokokne, Bli harus pulang, tidak ada lain selain Bli yang melanjutkan trah leluhur untuk melanjutkan kepanditan di keluarga,” tutur Ida Rsi yang wawasan agamanya cukup luas.Di satu sisi, rencana untuk membuat merajan, membangun rumah serta tanah untuk itu sudah siap, bahkan sudah akan siap menjadi warga Irian.Sayangnya, demi titah Ida leluhur, Ida Rsi berprofesi PNS Badan Meteorologi Geofisika di Irian pun tidak bisa menolak untuk came back to campung. “Bagaimana ya, atas surat perintah dari Bali, Ida Rsi tidak bisa berkutik, harus dijalani, kalau tidak masalah akan menjadi lain di dalam keluarga,” kenang Ida Rsi yang mempunyai pikiran Hindu ke depan lebih padat dan lebih konsen dengan SDM berkualitas.Sejatinya, perjalanan Ida Rsi kelahiran tahun 1 Januari 1958 sudah kenyang makan garam baik secara teori maupun praktek agama. Maka, tidak heran Ida Rsi dengan pendamping setia Ida Bhujangga Rsi Istri Hari Laksmi paham betul makna-makna upakara serta prakteknya. Ida Rsi bertubuh tegap pun sudah pengalaman menjalani kebrahmanan mulai dari menjadi pamangku di berbagai daerah di luar Bali.Pertama kali, Ida dipercaya menjadi pamangku di Pura Jagatnatha Wira Bhakti, di Biak Irian Jaya tahun 1981 sampai 1994. selanjutnya, di Timor-Timur, juga mendapat kepercayaan mengemban tugas suci di Pura Girinata mulai tahun 1994 sampai tahun 1998. Guna memantapkan kualitas pamangkunya, sulinggih alumni STIA Yapis Irian Jaya ini pun pernah mengikuti penataran pamangku tingkat Nasional angkatan 11 di Unhi Denpasar tahun 1996. Akhirnya pindah ke kawitan (baca kembali ke tanah kelahiran) tahun 1998 serta tahun 2000 menjadi pangabih Ida Rsi Nabe.Kembali Ida Rsi mendapat tugas mulia dan menjadi pamangku di Pura Jagatnatha Pemkab Jembrana tahun 2000 sampai tahun 2004. Akhirnya tahun 2004 memutuskan madiksa menjadi sulinggih. Kentadi Ida Rsi sudah madeg pandita, tapi masih menjadi PNS aktif, namun status Ida sebagai staf ahli ditempatkan di Dinas Ekbang Sosbud Pemkab Jembrana. Karena tenaga Ida Bhujangga Rsi sangat dibutuhkan guna memberikan berbagai pertimbangan secara moril dan spiritual di dalam membangun Pemkab Jembrana.Yang sangat penting setelah perjalanan menjadi madeg pandita, Ida Rsi merasakan sekali tugas semakin berat. Kenapa? Karena Ida Rsi tidak mau sekadar malinggih, yang jelas Ida Rsi ingin memberikan pencerahan kepada umat Hindu agar menjadi pemeluk Hindu yang benar-benar paham dengan ajarannya. Tidak hanya menjadi pemeluk Hindu tapi tidak mengerti ajaran Hindu yang sebenarnya, apalagi hanya sibuk dengan upacara, sehingga muncul kesan Hindu itu rumit, biaya upacara mahal dan masalah krusial lainnya.
Kata Ida Bhujangga Rsi, tugas berat ini terus dijalani dengan dasar pilar agama yaitu satya, dharma, prema, shanti, dan ahimsa. Akhirnya dengan pilar pokok ini, segala tugas Ida Bhujangga berjalan dengan baik. Bahkan semakin sibuk mendapat tugas melayani umat dalam arti mulia Asal tahu saja, masih banyak yang harus diceritakan perjalanan Ida Bhujangga Rsi yang satu ini.Apalagi Ida Rsi mempunyai ide-ide yang sangat cerdas, berwawasan Hindu ke depan agar umat Hindu tidak risau menjadi Hindu. Ketimbang pindah agama, lebih baik Ida Rsi banyak terjun ke kantong-kantong umat yang mengeluh dengan ritual yang rumit, ribet, walaupun sejatinya menjadi umat Hindu tidak serumit yang dibayangkan.

Sumber : Guru Raka Adnyana – Denpasar.
Dok.     : Pesraman Teledu Nginyah Jenbrana